back to list

Profile

Profile

Profile

Kevin Mintaraga

Kevin Mintaraga

Kevin Mintaraga

CMO Tokopedia

CMO Tokopedia

CMO Tokopedia

Kevin Mintaraga, 38, tengah bersiap menempuh ujian semester 6 di Australia saat keluarganya tiba-tiba memberi tahu bahwa ayahnya terkena strok. Pesan itu berefek luar biasa. Pikirannya porak-poranda. Khawatir? Tentu. Apalagi, kabarnya sang ayah kehilangan kesadaran.

Ketika kondisi ayahnya kian memburuk, Kevin diminta pulang. Secara finansial, keluarganya tak mampu lagi menyokong pendidikannya di Negeri Kanguru. Meski bingung dan cemas, ia bersyukur. Karena ayahnya mulai pulih saat ia sampai di Indonesia. Satu beban pikiran hilang. Tapi, masih ada beban lainnya: ia harus melanjutkan sekolah sekaligus bekerja sambilan demi membantu keluarga.

Kevin baru berusia 21 saat itu. Nihil pengalaman. Ijazah formal terakhirnya SMP, karena ia mengikuti program spesial untuk tingkat SMA. Berbekal keterampilan menyetir, ia berniat menjadi supir taksi. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Ada seorang kenalannya yang mencari Account Executive untuk perusahaan desain grafis.

Bisa dibilang, itu keputusan berani. Sebab Kevin tak berlatar pendidikan pemasaran. Dus, ia pun mempelajari wawasan baru sejak mulai bekerja di Jakarta. Berkat kepiawaian dalam bergaul, ia berkenalan dan berbincang dengan banyak orang. Salah satu topiknya: tren teknologi, yang memang menarik perhatiannya.

Dari situ, Kevin berelasi dengan banyak pemasar dari berbagai perusahaan multinasional. Tepatnya pada 2007, mereka membahas pengeluaran iklan internet Indonesia yang masih kecil. Markas pusat meminta para pemasar itu mengakselerasi pengeluaran itu. Ia pun akhirnya melihat secercah peluang usaha di bidang pemasaran digital.

Bermodal keingintahuan, bapak tiga anak itu mempelajari pemasaran digital secara otodidak. Ia pun mencari partner, sebab ia sadar tak bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi, itu bukan hal mudah. Ia baru berhasil mendapat mitra pada Maret 2008. Setelah proses panjang itu, akhirnya lahirlah agensi digital Magnivate.

Berhasil mendirikan Magnivate, ia bertekad mengembangkannya, sembari mempelajari setiap hal baru di sepanjang pelayaran pada tahun-tahun awal. Perusahaan akhirnya bertumbuh masif di periode 4-5 tahun berdiri.

Tapi, bukan berarti Magnivate tak pernah menghadapi gelombang pasang. Di periode itu, visi para pendiri mulai berseberangan. Yang pada akhirnya membuat tim terpecah. Itu masa yang cukup sulit, mengingat partnernya-lah yang memegang kendali di bidang produksi.

Tapi, badai tak akan terjadi selamanya. Kevin dan tim yang bertahan di Magnivate berhasil melaluinya. “Justru saat tim diberi kepercayaan lebih besar, mereka excited melihat ini sebagai peluang untuk belajar dan berkembang,” katanya.

Kevin Mintaraga, 38, tengah bersiap menempuh ujian semester 6 di Australia saat keluarganya tiba-tiba memberi tahu bahwa ayahnya terkena strok. Pesan itu berefek luar biasa. Pikirannya porak-poranda. Khawatir? Tentu. Apalagi, kabarnya sang ayah kehilangan kesadaran.

Ketika kondisi ayahnya kian memburuk, Kevin diminta pulang. Secara finansial, keluarganya tak mampu lagi menyokong pendidikannya di Negeri Kanguru. Meski bingung dan cemas, ia bersyukur. Karena ayahnya mulai pulih saat ia sampai di Indonesia. Satu beban pikiran hilang. Tapi, masih ada beban lainnya: ia harus melanjutkan sekolah sekaligus bekerja sambilan demi membantu keluarga.

Kevin baru berusia 21 saat itu. Nihil pengalaman. Ijazah formal terakhirnya SMP, karena ia mengikuti program spesial untuk tingkat SMA. Berbekal keterampilan menyetir, ia berniat menjadi supir taksi. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Ada seorang kenalannya yang mencari Account Executive untuk perusahaan desain grafis.

Bisa dibilang, itu keputusan berani. Sebab Kevin tak berlatar pendidikan pemasaran. Dus, ia pun mempelajari wawasan baru sejak mulai bekerja di Jakarta. Berkat kepiawaian dalam bergaul, ia berkenalan dan berbincang dengan banyak orang. Salah satu topiknya: tren teknologi, yang memang menarik perhatiannya.

Dari situ, Kevin berelasi dengan banyak pemasar dari berbagai perusahaan multinasional. Tepatnya pada 2007, mereka membahas pengeluaran iklan internet Indonesia yang masih kecil. Markas pusat meminta para pemasar itu mengakselerasi pengeluaran itu. Ia pun akhirnya melihat secercah peluang usaha di bidang pemasaran digital.

Bermodal keingintahuan, bapak tiga anak itu mempelajari pemasaran digital secara otodidak. Ia pun mencari partner, sebab ia sadar tak bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi, itu bukan hal mudah. Ia baru berhasil mendapat mitra pada Maret 2008. Setelah proses panjang itu, akhirnya lahirlah agensi digital Magnivate.

Berhasil mendirikan Magnivate, ia bertekad mengembangkannya, sembari mempelajari setiap hal baru di sepanjang pelayaran pada tahun-tahun awal. Perusahaan akhirnya bertumbuh masif di periode 4-5 tahun berdiri.

Tapi, bukan berarti Magnivate tak pernah menghadapi gelombang pasang. Di periode itu, visi para pendiri mulai berseberangan. Yang pada akhirnya membuat tim terpecah. Itu masa yang cukup sulit, mengingat partnernya-lah yang memegang kendali di bidang produksi.

Tapi, badai tak akan terjadi selamanya. Kevin dan tim yang bertahan di Magnivate berhasil melaluinya. “Justru saat tim diberi kepercayaan lebih besar, mereka excited melihat ini sebagai peluang untuk belajar dan berkembang,” katanya.

Kevin Mintaraga, 38, tengah bersiap menempuh ujian semester 6 di Australia saat keluarganya tiba-tiba memberi tahu bahwa ayahnya terkena strok. Pesan itu berefek luar biasa. Pikirannya porak-poranda. Khawatir? Tentu. Apalagi, kabarnya sang ayah kehilangan kesadaran.

Ketika kondisi ayahnya kian memburuk, Kevin diminta pulang. Secara finansial, keluarganya tak mampu lagi menyokong pendidikannya di Negeri Kanguru. Meski bingung dan cemas, ia bersyukur. Karena ayahnya mulai pulih saat ia sampai di Indonesia. Satu beban pikiran hilang. Tapi, masih ada beban lainnya: ia harus melanjutkan sekolah sekaligus bekerja sambilan demi membantu keluarga.

Kevin baru berusia 21 saat itu. Nihil pengalaman. Ijazah formal terakhirnya SMP, karena ia mengikuti program spesial untuk tingkat SMA. Berbekal keterampilan menyetir, ia berniat menjadi supir taksi. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Ada seorang kenalannya yang mencari Account Executive untuk perusahaan desain grafis.

Bisa dibilang, itu keputusan berani. Sebab Kevin tak berlatar pendidikan pemasaran. Dus, ia pun mempelajari wawasan baru sejak mulai bekerja di Jakarta. Berkat kepiawaian dalam bergaul, ia berkenalan dan berbincang dengan banyak orang. Salah satu topiknya: tren teknologi, yang memang menarik perhatiannya.

Dari situ, Kevin berelasi dengan banyak pemasar dari berbagai perusahaan multinasional. Tepatnya pada 2007, mereka membahas pengeluaran iklan internet Indonesia yang masih kecil. Markas pusat meminta para pemasar itu mengakselerasi pengeluaran itu. Ia pun akhirnya melihat secercah peluang usaha di bidang pemasaran digital.

Bermodal keingintahuan, bapak tiga anak itu mempelajari pemasaran digital secara otodidak. Ia pun mencari partner, sebab ia sadar tak bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi, itu bukan hal mudah. Ia baru berhasil mendapat mitra pada Maret 2008. Setelah proses panjang itu, akhirnya lahirlah agensi digital Magnivate.

Berhasil mendirikan Magnivate, ia bertekad mengembangkannya, sembari mempelajari setiap hal baru di sepanjang pelayaran pada tahun-tahun awal. Perusahaan akhirnya bertumbuh masif di periode 4-5 tahun berdiri.

Tapi, bukan berarti Magnivate tak pernah menghadapi gelombang pasang. Di periode itu, visi para pendiri mulai berseberangan. Yang pada akhirnya membuat tim terpecah. Itu masa yang cukup sulit, mengingat partnernya-lah yang memegang kendali di bidang produksi.

Tapi, badai tak akan terjadi selamanya. Kevin dan tim yang bertahan di Magnivate berhasil melaluinya. “Justru saat tim diberi kepercayaan lebih besar, mereka excited melihat ini sebagai peluang untuk belajar dan berkembang,” katanya.

Quick Fact

Quick Fact

Quick Fact

Kevin Mintaraga

Kevin Mintaraga

Education:

Education:

-

-

Quotes:

Quotes:

"Kita boleh rayakan kesuksesan hari ini, tapi berusaha untuk tidak merasa puas karena besoknya harus break the ceiling and raise the bar."

"Kita boleh rayakan kesuksesan hari ini, tapi berusaha untuk tidak merasa puas karena besoknya harus break the ceiling and raise the bar."